Jumat, 26 Juni 2009

PROSES TERJADINYA STRES KERJA


Oleh : Nuzulia Avianto

Ada beberapa pendekatan untuk menjelaskan bagaimana proses terjadinya stres kerja. Dalam penelitian ini digunakan gabungan antara The General Adaptation Syndrome Model (Model Sindrom Adaptasi Umum) dari Selye (dalam Berry, 1998) dan Theoretical Schematization of the Stres Process dari Lazarus (dalam Dunnet, 1998). Selye mengkonseptualisasikan adanya tanggapan fisiologis terhadap stres. Selye beranggapan stres merupakan tanggapan yang bersifat nonspesifik terhadap setiap tuntutan yang dikenakan pada seseorang, akan muncul reaksi dari semua organisme yang dikenai tuntutan dan muncul reaksi pertahanan tiga fase yang akan dilakukan oleh organisme yang bersangkutan ketika muncul stres. Selye menyebut proses tersebut sebagai general adaptation syndrom (sindrom penyesuaian umum).
Reaksi pertahanan umum karena stres menurut Selye akan berdampak pada berbagai anggota badan yang merupakan tanggapan dari adanya rangsangan dari pertahanan yang diciptakan untuk membantu tubuh atau badan organisme menyesuaikan diri pada penyebab stres atau membantu organisme untuk menghadapi hal-hal yang menimbulkan stres. Kata sindrom menunjukkan bahwa bagian reaksi yang sifatnya individual tersebut terjadi hampir bersamaan. Fase-fase reaksi organisme terhadap stres, dalam model Selye dibagi tiga, yaitu fase sinyal (alarm), fase perlawanan (resistance), dan fase kelelahan (exhaustion).
Fase pertama yaitu fase sinyal akan mempengaruhi tejadinya perubahan pada badan. Fase sinyal merupakan mobilisasi awal ketika badan menemui tantangan yang diakibatkan oleh stressor. Pada waktu stressor berhasil diidentifikasi, otak akan mengirimkan pesan yang bersifat biokimia kepada semua sistem dalam tubuh, akibatnya pernafasan akan meningkat, tekanan darah naik, pupil mata membesar, otot menjadi tegang, dan gejala-gejala fisiologis lainnya. Dengan kata lain, pada fase ini badan menunjukkan perubahan karakteristik karena adanya stressor. Ketahanan badan pada waktu yang sama juga akan menurun. Contoh pada fase ini adalah ketika ada suatu permintaan oleh seorang manajer untuk mengajukan anggaran dalam waktu yang sangat terbatas.
Stressor yang masih terus aktif dan tidak bisa ditanggulangi akan membuat sindrom penyesuaian umum meningkat ke fase kedua, yaitu fase perlawanan. Gejala-gejala peralihan dari fase sinyal ke fase perlawanan adalah munculnya keletihan, ketakutan, ketegangan, atau kemarahan. Individu yang berada dalam fase ini sedang berupaya untuk melakukan perlawanan terhadap stressor yang mengenainya. Dalam fase ini dimungkinkan stressor khusus mendapat perlawanan yang lebih tinggi dibandingkan stressor lain. Hal ini diakibatkan karena individu hanya mempunyai sumber energi yang terbatas, konsentrasi yang terbatas, dan keterbatasan kemampuan untuk menghadapi stressor. Individu dalam fase ini akan lebih mudah terserang sakit selama periode terjadinya stres. Contoh fase ini adalah menjadi marah pada suatu pertemuan karena anggaran masih belum dapat diselesaikan.
Fase terakhir atau fase ketiga dari Sindrom Penyesuaian Umum adalah fase keletihan. Pada fase kedua, ketahanan naik di atas normal. Pada fase ketiga, karena terus menerus terkena stressor yang sama maka badan akhirnya berusaha menyesuaikan diri, dengan kata lain energi adaptasi dikeluarkan. Sistem penyerangan terhadap stressor berangsur-angsur menjadi lelah. Contoh fase ini adalah munculnya gangguan insomnia, maupun keletihan total secara fisik maupun psikis.
Kesimpulannya, ketika individu sudah melalui ketiga fase dalam Sindrom Adaptasi Umum tersebut, maka individu akan berakhir pada suatu keadaan ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessnes). Individu yang terus menerus terkena stressor tadi pada akhirnya akan menganggap bahwa stressor yang muncul merupakan hal yang mau tidak mau harus diterima sehingga tidak ada lagi perlawanan yang dilakukan untuk mengatasi atau menghindari stressor. Implementasi di tempat kerja, stressor secara terus menerus akan menimbulkan suatu keadaan “pasrah” dimana individu menerima tanpa ada usaha untuk menghindari stressor.
Lazarus (Lazarus dan Folkman, dalam Dunet, 1998), dalam teori yang disusunnya yaitu Schematization of the Stres Procesess Theory yang sering disebut juga teori Stres Kognitif-Phenomenologis menekankan pada kondisi kronis eksternal. Kondisi ini atau disebut juga daily hassles dipandang sebagai stressor dan pada faktor kognitif yang menjadi variabel intervensi antara peristiwa-peristiwa eksternal dan fisiologis jangka pendek, emosional, dan konsekuensi perilaku yang sangat penting.
Teori Stres Lazarus mencoba mendefinisikan stres sebagai hubungan yang mengalami gangguan antara person dan environment dimana lingkungan memberikan banyak tuntutan, ketegangan, atau kesempatan yang dinilai membebani atau melebihi kemampuan yang dimiliki oleh person.
Hubungan antara person dan environment dimediatori oleh tiga tipe penilaian kognitif yaitu, primary appraisal, secondary appraisal, dan reappraisal. Primary appraisal merupakan proses dimana individu melakukan evaluasi terhadap keadaan lingkungan dan menghadapi keadaan lingkungan dengan kondisi well-being yang dimiliki. Penilaian dalam tahap ini (primary appaisal) mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti “Aku baik-baik saja atau sedang dalam masalah ?”. Secondary appraisal memunculkan pertanyaan yang berhubungan dengan coping seperti, “Apa yang bisa aku lakukan untuk menghadapi keadaan penuh stres ini ?”. Reappraisal merupakan siklus lain yang diaktifkan oleh informasi baru, misalnya informasi tentang apakah upaya pertama yang dilakukan oleh individu yang menghadapi tekanan lingkungan berhasil melakukan coping yang efektif atau justru mengalami kegagalan.
Teori Lazarus mengatakan, ketika dalam primary appraisal individu menilai bahwa keadaan lingkungan mengancam maka potensi terjadinya stres akan lebih tinggi dibandingkan ketika individu menilai keadaan lingkungan tidak mengancam eksistensi personalnya. Individu dalam secondary appraisal mulai menilai kemampuannya dalam menghadapi masalah, apabila individu menilai dirinya tidak mampu menghadapi masalah maka potensi stres akan lebih tinggi. Individu yang melakukan reappraisal dan menemukan dirinya gagal dalam upaya coping akan mengalami kondisi penuh stres. Kondisi tersebut akan mengakibatkan efek tengah (immediate effect) dan efek jangka pajang yang bersifat negatif, sebaliknya, apabila individu mampu melakukan reappraisal yang positif maka efeknya juga akan positif.
Penelitian ini menggunakan dua perspektif yang sudah djelaskan di atas, yaitu General Adaptive Syndrom Model dan Teori Schematization in the Stres Process. Kedua teori ini digunakan karena pada dasarnya kedua teori tersebut mempunyai perspektif yang sama. Proses awal terjadinya stres dipengaruhi oleh anteseden-anteseden yang terdiri dari variabel person maupun environment sebagaimana dijelaskan dalam teori Lazarus dan Selye. Selanjutnya terjadi proses penilaian yang melibatkan primary appraisal, secondary appraisal, dan reappraisal, dan selama proses penilaian tersebut berakhir, terjadi general adaptif syndrom.
Proses terjadinya stres, berdasarkan kedua teori di atas, tidak terlepas dari cara pandang individu yang bersangkutan yang akan menghasilkan penilaian kognitif yang berbeda antara satu orang dengan orang yang lain. Perbedaan cara pandang tersebut mempengaruhi fase selanjutnya, yaitu apakah individu akhirnya mengalami stres atau tidak. Selain itu, semua individu juga akan mengalami reaksi yang sama sebagaimana dijelaskan dalam General Adaptive Syndrom apabila stres tidak cepat tertanggulangi.

1 komentar:

  1. Thanks infonya menarik banget. Oiya saya juga nemuin nih artikel keren yang nge bahas tentang cara mudah untuk mengatasi stres saat di kantor. Cek di sini ya man teman: Cara ampuh atasi stres di tempat kerja

    BalasHapus